Minggu, 16 Juni 2013

MENGAKIHIRI TRADISI BERCERAI

Ahad sore (9/6/2013) saya menghadiri acara pernikahan kerabat di Lingsar. Banyak keluarga, kerabat, sahabat dan tamu undangan yang menghadirinya. Tampak senyum bahagia terpancar dari bibir kedua mempelai dan begitu juga dengan kedua orang tuanya. Sore itu tidak terlihat satupun diantara para tamu undangan yang terlihat sedih, semuanya mendoakan kehidupan keluarga yang harmonis bagi kedua mempelai.

Nesehat perkawinan pun bekisar tentang bagaimana membina suatu kehidupan yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Materi nasehat perkawinan masih sangat normatif dan jarang sekali menyinggung tentang anomali dalam suatu perkawinan. Maksudnya tidak pernah menyampaikan tentang akibat buruk dari suatu perceraian. Sebagai suatu nasehat tentu boleh saja menyampaikan anomali dalam suatu bahtera kehidupan rumah tangga agar tidak ditiru oleh keluarga yang baru terbentuk.


Tingginya angka perceraian di Lombok sangat memprihatinkan kita semua. Ada kesan yang terkonstruksi bahwa perceraian sudah membudaya dalam masyarakat Sasak. Perceraian seakan berbanding lurus dengan pernikahan di dalam masyarakat Sasak di Lombok. Maksudnya bahwa perceraian sangat gampang dilakukan masyarakat Sasak segampang mereka melakukan pernikahan. Coba di bayangkan bahwa kalau dua pasangan sudah sama-sama saling cinta maka tanpa berfikir lima langkah ke depan pasti akan mencuri si gadis dengan maksud untuk dinikahi. Inilah tradisi menikah pada masyarakat Sasak di Lombok. Pernikahan segampang itu berbanding lurus dengan mudah dan cepatnya mereka menjatuhkan talaq kepada istrinya.

Saya fikir inilah ruang kosong yang membutuhkan kahadiran pemerintah untuk mengaturnya. Adat dan tradisi boleh saja dijadikan sandaran untuk melakukan proses pernikahan maupun perceraian tetapi hukum negara tidak boleh juga diabaikan. Perceraian dengan alasan-alasan tertentu boleh dilakukan tetapi sebaiknya tidak dilakukan selama bisa dimediasi dan ada solusi untuk islah. Dalam konteks ini, nabi Saw mengkatagorikan perceraian merupakan perbuatan yang boleh dilakukan tetapi paling dibenci oleh nabi Saw.

Perceraian dalam tradisi masyarakat Sasak seakan tanpa aturan dan cendrung permainan. Di banyak kasus perceraian di Lombok, seorang suami dengan tanpa perhitungan midah saja mereka menceraikan istrinya dan dengan mudah pula mereka rujuk kembali. Terus terkadang kita bingung dengan tingkah polah laki-laki dan perempuan pelaku perceraian. Pagi bercerai sorenya rujuk kembali. Dan ada yang lebih aneh lagi, ada istilahnya coba-coba bercerai dalam waktu singkat. Dia hanya ingin tahu bagaimana rasanya bercerai. Ternyata tidak enak katanya dan dalam tempo setengah jam saja si laki-laki langsung rujuk kembali dengan istrinya. Padahal istrinya sudah mengemas semua pakaian dan perlengkapan bayinya.

Astagfirullah. Manusia hidupnya semakin aneh saja. Bercerai kok coba-coba. Pun dalam hal perkawinan banyak juga yang coba-coba, masih ingat dengan kasus Aceng Fikri sang mantan bupati Garut Jawa Barat yang melakukan nikah kilat. Dan di Lombok kejadian serupa banyak terjadi walaupun sama persis dengan kasus Aceng Fikri. Apa kata dunia, kalau persoalan yang dianggap sakral sudah banyak dipermainkan manusia. Apa ini pertanda kiamat sudah semakin dekat? Entahlah, bukan kita tidak berhak mengatur Tuhan. Mau kiamat mau tidak, biarlah menjadi urusan Tuhan. Terserah Tuhan sajalah.

Terus terang saya berhayal sangat serius kalau pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat bisa membiat program menekan angka perceraian nol (APCANO). Saya punya keyakinan bahwa gubernur NTB Dr.HM. Zainul Majdi bisa melakukannya, sebagaimana keberhasilannya menjalankan program AKINO, ABSANO dan ADONO. Kalau saja program APCANO ini bisa dijalankan maka pasangan TGB-Amin patut diberikan penghargaan Sasak award karena mampu menekan angka perceraian.

Harkat dan martabat kaum perempuan Sasak bisa terangkat bila saja program APCANO mau dilakukan pemerintah provinsi dan tentu harus bersinergi dengan pemerintah kabupaten-kota di NTB. Siapa yang tidak prihatin dan sedih melihat ketiadaan harga perempuan Sasak di mata lelaki di gumi Sasak dalam kasus-kasus perceraian. Namun, yang mengherankan tidak ada upaya yang serius untuk menekan angka perceraian itu termasik oleh kementrian Agama sendiri. Seakan terjadi pembiaran terhadap perceraian yang semakin marak terjadi terutama pada musim paceklik. Kalau tidak mau dikatakan pembiaran lalu apa?

Namun yang pasti bahwa kita menginginkan angka perceraian di Lombok cepat menurun. Apapun caranya. Gubernur NTB yang memang tokoh agama mempunyai tanggung jawab besar untuk menekan angka perceraian ini agar tidak dilabeli daerah ini sebagai "daerah sejuta janda".
Jika ini terjadi, tentu akan membuat citra daerah ini jelek di mata nasional atau mungkin internasional. Siapa yang menginginkan label itu? Tentu tidak ada.

Harapan kita sebagai warga NTB, pemerintah harus punya program nyata untuk membuat angka perceraian nol (APCANO). Tradisi percerain di bawah tangan harus segera diakhiri sebagai akibat dari perceraian di bawah tangan. Kalau ingin cerai maka lakukan gugatan ke pengadilan sebagai kelanjutan dari perkataan cerai yang diucapkan dengan lisan. Kalau tradisi ini tidak segera di amputasi, maka selamanya perempuan akan terus menjadi kurban tradisi yang tidak baik. Kalau tidak pemerintah, siapa lagi yang mau mengangkat harkat dan martabat kaum wanita.

Mengakhiri tradisi bercerai merupakan pilihan dan program yang harus dilakukan oleh pemerintahan TGB-Amin selama lima tahun ke depan. Mengkonstruksi program berkualitas dan menjalankannya dengan serius bisa menjadi investasi budaya ke depan. Siapapun yang mampu melakukan program angka perceraian nol ini, maka pasti akan mendapatkan penghargaan dari rakyat secara tulus. Penghargaan ini merupakan penghargaan yang tertinggi dari pada penghargaan yang lainnya, karena akan dikenang sampai kapanpun jua. Tinggal adakah kemauan politik untuk melakukan investasi bagi rakyat Sasak. Investasi ini sangat mulia dan coba renungi "mengakhiri tradisi perceraian". Sangat mengagumkan. Wallahul Muwafiq ila Darissalam.

Tanak Beak, 10062013.23.01.59


0 komentar: